April 05, 2009

Sungguh…Alloh sangat mencintaiku

Saat itu usiaku 22 tahun ketika aku memutuskan untuk menapaki hidup dalam manhaj ahlu sunnah wal jama’ah. Alhamdulillah Alloh memberiku kemantapan dalam menempuh pilihanku ini. Dulu aku adalah seorang anak ‘gaul’, aku kuliah 1 tahun jurusan perhotelan. Semua trend yang ada pada waktu itu aku ikuti, malah aku terkadang yang menjadi trend center buat temen2ku. Semuanya berkiblat ke barat –naudzubillah- . tetapi untungnya aku masih menjaga norma-norma pergaulan, aku tidak terjebak dalam budaya miras, narkoba ataupun sex bebas.

Awal aku mulai mengenakan hijab, orang tuaku menolak keras keputusanku itu. Mereka berpikir bahwa itu semua semata-mata karena suruhan ikhwan yang ‘dekat’ denganku itu. Ikhwan itu hanya memberikan pengarahan untuk aku, memberi tahu tempat ta’lim yang baik dan selanjutnya keputusan adalah mutlak karena hidayah Alloh dan keputusanku. Kami memang melakukan kesalahan oleh sebab itu setelah aku berhijab, kami memutuskan untuk segera menikah. Keinginan kami itu ditentang oleh orang tua kami. Orang tuanya, terutama ibunya kurang setuju karena kakak perempuannya belum menikah. Sedangkan orang tuaku menentang karena tidak suka melihat penampilan ikhwan itu. Orang tuaku masih belum bisa menerima penampilan orang2 yang seperti kami karena takut dikira “teroris”. Tapi akhirnya karena ketekatan kami, kamipun di-ijinkan menikah.

Setelah menikah, kami memutuskan untuk hidup mandiri. Kamipun pindah dari rumah, dan menjadi anak kos-kosan. Kami berdua hidup bahagia, suamiku masih bekerja di tempat yang dulu dengan gaji yang lumayan besar. Aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku karena aku tidak tahan dengan ikhtilat yang ada didalamnya. Beberapa bulan kemudian, tamu ‘bulanan’ wanita itu datang. Ini berbeda dengan bulan2 sebelumnya. Hampir dua minggu ‘tamu’ itu tidak berhenti. Kami pergi ke dokter, sungguh kami terkejut ketika dokter mengatakan bahwa itu adalah gejala keguguran. Rasanya bercampur, senang karena mengetahui aku hamil dan sedih karena mau keguguran. Alhamdulillah bayiku masih dapat dipetahankan, tapi aku diharuskan beristirahat total (bedrest) tak boleh bekerja apapun. Masa hamilku itu sangat membuatku lemah, aku tidak bisa makan nasi dan aku selalu muntah-muntah. Aku jadi semakin lemas, semua pekerjaan rumah dikerjakan sendiri oleh suamiku. Suatu pagi, ada yang aneh dari suamiku. Biasanya dia pagi-pagi sudah pergi bekerja, tapi pagi itu tidak. Akhirnya dengan mata merah dia bilang padaku bahwa dia dipecat. Dia difitnah temannya dengan tuduhan mencuri. Sebuah konspirasi terselubung yang memang telah direncanakan oleh temanya itu.

Kami mencoba bertahan dengan uang tabungan kami sambil suamiku mencari pekerjaan. Empat bulan masa kehamilanku itu memang sangat menguras habis tenaga kami dan juga menguras tabungan kami. Aku sering pendarahan sehingga mau tak mau hanya suamiku yang harus bekerja. Tabungan kami hampir habis sedangkan suamiku belum mendapat pekerjaan. Orang tuaku akhirnya meminta kami pulang ke rumahku, kami pun akhirnya mau karena ku pikir ini demi kebaikanku juga. Di rumah ternyata berbeda jauh dengan perkiraanku sebelumnya, aku yang seharusnya tak boleh bekerja apapun malah harus membantu pekerjaan rumahku. Karena mereka pikir orang hamil harus banyak bergerak agar sehat.

Dengan tabungan yang masih ada aku dan suamiku mencoba berwirausaha sendiri, kami menjual jilbab dan pakaian2 muslimah lainya. Suamiku juga mendapatkan pekerjaan, dia bekerja di sebuah counter (walaupun gajinya tak sebesar gajinya yang dulu). Tapi karena kehabisan modal dan tenaga kami berhenti berjualan. Kandunganku mulai membesar, selama itu pula aku semakin sering mengalami pendarahan. Kata bidan yang merawatku itu tidak apa-apa hingga kandunganku menginjak usia 7 bulan. Saat itu hari raya Idul Fitri, ba’da subuh aku bersiap-siap akan pergi sholat Id. Aku merasakan kakiku basah sehingga aku mengambil kain untuk mengusapnya, ku lihat di kain itu banyak sekali darah. L A G I…aku pendarahan, aku berjalan mencari bantuan hingga darah ku bercecer disepanjang jalan yang ku lewati. Seisi rumah heboh, bingung, suami dan ayahku tidak ada mereka masih di masjid. Aku diantar tetanggaku periksa ke bidan lagi. Atas rekomendasi bidan kami di suruh USG ke rumah sakit. Hasil USG menyatakan bahwa aku mengalami kehamilan plasenta letak rendah, sehingga makin besar kandungan maka aku pun akan sering pendarahan.

Aku dan suamiku sudah tidak punya uang lagi dan terpaksa kami pinjam pada ibuku (wlaupun ibuku mengikhlaskannya). Hari raya yang seharusnya aku bisa berkumpul bersama keluargaku itupun berakhir dengan istirahat total ditempat tidur. Setelah bertahan +- 1 minggu, pendarahan terakhir aku langsung dirujuk ke rumah sakit untuk melahirkan. Karena posisi bayiku yang berada di atas plasenta maka aku harus melahirkan secara cecar. Jika aku memaksa melahirkan normal, maka bayiku akan meninggal. Dan akhirnya aku dengar tangisan kecil itu, subhanalloh…Alloh telah memberikan amanah pada kami seorang anak wanita dengan berat 2,5 kg -> Hashifah Alifatu Rohmah ( anak pertama yang semoga menjadi wanita yang bijaksana). aku menjadi seorang ibu.

Aku hanya sebentar melihat anakku karena anakku harus segera mendapat perawatan, dia lahir prematur dan berat badannya terlalu sedikit hingga membuatnya harus menggunakan bantuan oksigen dan ‘dilistrik’. Tabungan kami sudah habis, kami bingung mau bayar rumah sakit pake apa. Suamiku telah berusaha maximal dan menggadaikan motornya. Kelahiran bayiku itu tak serta merta membuatku terus tersenyum, masih banyak tekanan batin yang ku alami saat itu. Ibu mertuaku tidak mau menjenguk cucu pertamanya itu, dia tidak datang sama sekali. Orang tuaku selalu menanyakannya, kami bingung harus berkata apa pada orang tuaku. Sedang orangtuaku sendiri, mereka juga hanya sebentar-bentar menjenguk kami dengan alasan di rumah sibuk. Karena aku dan bayiku dipisah, aku tidak bisa mengandalkan suamiku saja untuk merawat kami. Aku belum bisa merwat bayiku karena aku belum bisa kemana-mana dengan kondisiku yang seperti itu. Sedangkan bayiku perlu perhatian khusus karena dia sering muntah-muntah dan harus ditunggu.

Alhamdulillah… adikku mau membantu, di rumah sakit (sebagai sebuah keluarga baru yang belum berpengalaman apapun) kami hanya ber empat (aku, suamiku, bayiku, dan adikku) adikku dan suamiku menjadi petugas jaga, mereka bergantian menjaga dedek dan aku. Keluarga di sebelah sampe heran melihat kami, sebuah keluarga muda yang benar-benar mandiri tidak mendapat pengarahan dari orang tua. Sedang mereka, ditunggui orang tua nya, bayi mereka juga sehat. Kadang aku dan adikku menangis berdua, menangis karena iri kepada keluarga yang bahagia tadi yang kedua orangtuanya selalu mensuport mereka itu.

Lima hari berlalu, ibuku meminta agar aku segera keluar dari rumah sakit dengan alasan takut biaya makin besar. Kamipun menyetujuinya karena kami memang sudah tak punya tabungan lagi walaupun dedek belum sembuh bener. Kami punya saudara perawat, jadi kami pikir sementara dedek bisa dirawat oleh saudara agar bisa cepet sembuh. Selain belum bisa menyerap makanan, kata dokter dedek juga terkena downsyndrome(keterbelakangan). Kami menerima dengan ikhlas semua itu. Setelah -2 minggu di rumah, tak ada perubahan dengan dedek, ia tetap belum bisa menerima asi semuanya ia muntahkan kembali. Akupun akirnya mengambil keputusan untuk membawa dedek kembali ke rumah sakit. Berat badan dedek susut menjadi 1,7 kg, kami dimarahi dokter karena tidak segera membawa dedek ke rumah sakit. Dedek kembali di opname di rumah sakit, di infus, dedek masih muntah walaupun Cuma dikit. Dan beberapa hari kemudian, kami membawanya pulang ke rumah.

Dedek keliatan gemuk, kami pikir dedek akhirnya sehat. Tetapi tidak, 2 hari di rumah muntah dedek makin banyak dan berwarna hijau. Kamipun bertindak cepat dengan kembali membawanya ke rumah sakit yang lebih baik, atas rujukan bidan. Di rumah sakit itu adik mendapatkan perawatan yang baik, dia sudah kelihatan gemuk dan sehat. Pihak rumah sakit merujuk kami untuk pindah ke rumah sakit yang lebih canggih peralatannya untuk merawat dedek. Tak mempeduliakan biaya, dan hutang yang dah membengkak kami pun membawa dedek untuk pindah rumah sakit lagi. Di rumah sakit itu aku hanya bersama samiku. Jahitanku yang belum sembuh benar ini, membuat aku sedikit sulit bergerak cepat. Tetapi demi dedek, aku rela berlari kesana kemari menebus obat, mencari transfusi darah, dan banyak lagi yang harus di suntikkan ke tubuh dedek. Terakhir dedek divonis terkena kelainan usus dan kebocoran jantung. Dedek harus di operasi dengan harapan hidup hanya +-5%. Kami ambil resiko itu. Kami telah ber ikhtiar sekuat tenaga, sampe2 suamiku tiba-tiba berkata bahwa dia sudah tidak kuat lagi. Aku kasihan melihat suamiku yang telah berjuang keras, tenaga dan pikiran kesana kemari untuk mencari dana pinjaman buat menebus obat dedek.

Kami sudah pasrah terhadap apapun yang akan terjadi pada dedek, tanpa berhenti ber ikhtiar. Dan di suatu pagi, suster memanggil “ ibu hashifah….”. Jantungku berdebar kencang, aku telah mendapatkan firasat. Dedek telah pergi…dedek telah mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tak kuasa mata ini menahan tangis, kami tidak menyesal dengan apa yang kami lakukan. Kami telah berusaha dan Alloh lah yang menentukan yang terbaik bagi kami.

Alloh benar-benar menyayangi kami. Aku bersyukur karena diberi kesempatan menjadi seorang ummi walaupun Cuma 30 hari, aku bersyukur memiliki suami seorang yang memiliki pemahaman agama yang alhamdulillah cukup baik. Mungkin Alloh memberikan kesempatan kami untuk belajar dulu agar kami benar-benar siap menjadi orang tua. Karena aku melahirkan caecar maka aku harus menunggu 2 tahun untuk hamil lagi.

Di ceritakan oleh ummu hashifah
Ditulis oleh : indonesia_manusia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar